Orang Kota di Tengah Cerita Orang-Orang Desa
Yah, Laptop dengan segala fasilitas audionya telah membuatku nyaman menulis catatan lapangan saat usai menonton Leonardo de Caprio dan Russel Crow dan kini menikmati suara merdu Morrissey.
Hari sudah malam. Di sudut kanan bawah laptop Toshiba menunjukkan pukul 2:52 AM dan tanggal 14/3/2011. Di rumah panggung ini dua orang petani tertidur setelah (mungkin) lelah menemaniku mengobrol untuk urusan proyek dari Helsinki bernama Sustainable Livelihood in Rural Sulawesi yang sudah berjalan sekira dua tahun ini. Hawa dingin—melebih kenyaman AC di rumahku yang kubeli tiga tahun lalu dari sedikit hasil dari beasiswa Ford Foundation yang kuterima—membuat suasana malam ini jadi lebih asri.
Lalu apa yang sebenarnya sedang kulakukan saat ini?
Dua petani ini memilih tak pulang ke rumahnya masing-masing dan menemaniku di rumah panggung yang sengaja dibeli untuk sekretariat mereka yang mau berkelompok dan belajar bersama sekaitan dengan proyek ini.
Ah, bukankah aku demikian juga. Aku rela beranjak jauh dari rumah dimana dua anakku yang masih belia dan istriku yang tabah melepasku selalu melewatkan banyak jam setiap harinya tanpaku.
Tapi bukankah aku seorang kelas menengah yang sebenarnya hidup nyaman?
Yah, aku jebolan Institute of Social Studies di Den Haag yang lumayan dikenal luas sebagai universitas terbaik untuk urusan studi pembangunan. Bukankah kini aku menyandang gelar Master of Arts di mana hanya segelintir saja sarjana di Indonesia ini memilikinya?
Yah, tentu saja aku adalah kelas menengah yang menikmati kemewahan.
Kini aku memiliki gaji tiga juta rupiah perbulannya (sebelum dipotong institutional fee dari dua lembaga dimana aku berada hampir sejuta). Gaji yang dengannya saya bisa mencicil asuransi pendidikan dan kesehatan bagi kedua anakku dan tentu saja mampu membiayai keperluan sekolah anak pertamaku yang sudah menginjak bangku TK di dekat rumah kami. Di lingkungan perumahan dosen UNM yang bebas banjir dan sangat jarang mati lampu akibat bertetangga dengan banyak pejabat kota Makassar yang mulai marak membeli rumah-rumah yang dulunya diperuntukkan bagi dosen-dosen IKIP.
Aha. Aku memang kelas menengah yang menikmati kenyamanan dan tak semua orang bisa merasakannya.
Seperti dua petani ini yang tidur meringkuk karena hawa dingin. Kupikir, aku dan beberapa kawan kelas menengahku di Makassar juga sedang menarik orang-orang ini menjadi kelas menengah di dunianya sendiri, desa!
Benarkah?
Coba saja. Kami hidup di sebuah komunitas yang kami sebut ININNAWA yang di dalamnya orang-orang berpikir tentang kelas (buruh tani) petani dan kelas pekerja. Dua kelas sosial yang lumayan tertindas di negeri ini. Karena kami kelas menengah kami mengandalkan kemampuan berpikir dan kemampuan merangkai kata dengan tulisan maupun dengan ucapan. Kami memang pandai untuk hal itu dan dengannya kami layak mengerjakan segala pekerjaan layaknya kelas menengah dengan segala fasilitas yang nyaman.
Sebagai kelas menengah, ada saja uang datang menghampiri. Ada penelitian, pasti kami bisa hidup lagi. Ada ide, pasti bisa kami jual. Ada tulisan pasti bisa kami iklankan diri. Hm, narsis!
Tadi sore, aku menikmati pemandangan alam perbukitan dan persawahan dengan hawa yang sejuk bahkan sedikit dingin dan kabut yang mulai merayap turun tentu sebuah kemewahan yang lain. Tak semua orang kota bisa datang ke desa yang tepat berada di kaki Gunung Bulusaraung ini. Dari kampung Bulu-Bulu aku mengendarai motorku yang juga kubeli dari hasil sisihan beasiswa tadi ke kampung Tanete sekira 7 kilo meter.
Dengan kondisi jalan yang baik, beraspal dan sebagian berbeton tentu menambah nyaman perjalanan ini. Saya sedang menuju rumah sekretaris desa yang tinggal di sana. Ingin berbincang-bincang masalah Politik! Mentereng bukan? Berbincang masalah Politik!
Setiba di rumah sekeretaris desa, rumah panggung seperti kebanyakan rumah di desa Tompo Bulu ini, pak Anas menyambutku dengan rada heran. Tentu ia tak mengenalku karena aku tergolong baru menjambangi kampong ini. Tak seperti kawan-kawanku sesama tim dalam proyek yang sudah sering datang dan berinteraksi dengan masyarakat. Ia tetap saja menyambutku ramah walau sedikit terlihat kikuk karena pastilah tampangku tak seperti petani sehingga ia pasti berpikir aku dari kalangan kelas menengah dan pasti berasal dari kota. Yah bisa saja, itu tampak dari caraku berpakaian, jaket tebal, celana penuh kantong, tas pinggang berisi dua HP dan kamera digital, serta topi Eager, dan tas ransel!
Tak ada istri dan anak-anaknya. Ia katakan bahwa ia sendiri dan mereka sedang ke Maros untuk sebuah kunjungan keluarga. Yah aku mengobrol saja toh. Walau tanpa kopi hitam seperti dua hari ini kunikmati setiap duduk mengobrol bersama petani-petani di Bulu-Bulu.
Singkatnya, pembuka kata dengan segala kesopanan sudah disampaikan dan kini tiba bertanya tentang apa saja yang pak sekdes ini tahu. Belum lama berbincang naik seorang tetangga bergabung, dan bapak pak Anas muncul dari dalam dan memilih duduk di bawah melantai di lantai papan rumahnya.
Mula-mula ia menyayangkan perubahan waktu kerja di kantor desa. Kini tinggal lima hari kerja ia bertugas namun lebih panjang perharinya, yakni pukul 4 sore. Padahal, bila ia pulang pukul 2 siang hari maka ia dan staf desa yang lainnya dapat pergi dua hingga 3 jam di desa masing.
Keluhan ini tentu berlaku umum di banyak desa di Pangkep di mana pegawainya juga adalah petani dan memiliki aktifitas pertanian sehari-hari. Sebelumnya mereka masih bisa melakukan aktifitas harian itu, tetapi kini sulit karena terkadang datang pemeriksa dari pemerintah kabupaten memantau kehadiran staf desa dan tutup tidaknya kantor lebih awal sehari-harinya.
Aturan ini berlaku bukan saja bagi pegawai Negeri yang sudah resmi, namun juga bagi pegawai honorer. Kawan pak sekdes itu tersenyum sambil mengatakan satu kalimat sinis, “sampai kapan staf desa ini terus mau dipantau. Baru ji peraturan, nanti juga malasmi datang cek”. Kami tertawa.
Hujan deras kembali turun seperti hari-hari kemarin. Obrolan politik terus saja bergulir. Sepertinya kedua orang ini memang suka bicara politk ketimbang masalah pertanian. Tapi nanti saya akan tanyakan beberapa hal, biarlah kudengarkan saja cerita-cerita mereka.
Pembicaraan kini mengalir ke soal pemilukada beberapa waktu lalu. Saat di mana banyak orang-orang suruhan datang ke kampong ini dan naik ke rumah-rumah penduduk menyodorkan segala janji dan uang. Setidaknya satu orang suruhan datang menyodorkan uang antara 50 ribu hingga seratus ribu. “Masyarakat terima saja.” Demikian kata kawan sekdes itu. Urusan siapa yang akan kami pilih toh tetap jadi rahasia masing-masing pemilih.” Demikian katanya.
Memang, desa Tompo Bulu mayoritas warganya memilih calon yang tak menang ini. Artinya, walau pemenang pilkada, atau bupati sekarang ini menggelontorkan uangnya, warga dominan tetap tak memilihnya. Mereka tahu kalau calon yang kini jadi Bupati adalah ‘tak layak’ karena tidak pintar. Demikian kesimpulan kawan sekdes ini. Pak Sekdes sendiri tak berkomentar untuk hal terakhir itu. Walau ia akui juga kalau di rumahnya juga beberapa kali orang naik membawa uang dan janji.
Politik uang memang marak.
Demikianlah orang-orang kota datang memperkenalkan politik busuk macam ini. Demikian pula, demokrasi yang kini menggurita di banyak kabupaten rerata menyodorkan calon yang pengusaha, seolah memang ruang demokrasi di level elit khususnya hanya bisa di isi oleh orang-orang berduit, salah satunya adalah pengusaha, atau keluarga pengusaha, atau orang yang memiliki banyak kolega pengusaha.
Mereka lalu beralih kepada dampaknya. Salah satu contoh bergulir. Ini urusan pupuk subsidi yang kata kawan pak sekdes ini. Suatu hari ia ke kota Pangkep bermaksud membeli pupuk. Ketika tiba di kantor yang mengurusi penjualan pupuk ini, rupanya ia memperoleh jawaban ketus, “pupuk kosong!” Padahal ia tahu kalau ada pupuk bertumpuk-tumpuk di kantor itu. Selidik punya selidik, dari rumor yang berkembang di kalangan petani, pak Bupati menjualnya kepada pengusaha di Pinrang. Aha. Pinrang, tanah kelahiranku, lagi-lagi kalau urusan dagang menunjukkan pamornya.
Aku terkejut dengan cerita itu dan dia semakin bersemangat dengan keterkejutanku. Pasalnya aku bilang,
“Memang tak bisa kalau beli pupuk perorangan, pak!”
Ia menangkisnya, “sudah ketua kelompok tani ini yang datang pak, tapi memang dikatakan kosong. Jadi, biar syarat-syarat pembeliannya sudah terpenuhi kalau di bilang pupuk tidak ada, yah bagaimana bisa membeli.”
Duh!
Satu lagi cerita bergulir. Cerita ini sekedar menyimpulkan kesimpulan awal yang tentu masih sangat lemah dan perlu pembuktian, yakni Bupati sedang berupaya balik modal. Untuk kalimat ini, saya ingat pada suatu sore berdiskusi dengan Risal ‘Jack’ Suaib, pakar pemilukada dari AcSI. Ia bilang,
“masih bagus itu kalau Bupati terpilih menuntut balik modalnya, kalau bisa kasih saja, berapaji itu 20 atau 30 Milyar. Yang masalah kalau Bupati itu berlebihan dalam menggerogoti uang rakyat untu 70 keturunan-keturunannya kelak. Bangkrut daerah dibuatnya.”
Yah, Bupati menarik uang kepada setiap PNS untuk mengikuti pembekalan Pra Jabatan yang memang wajib diikuti. Sebenarnya, ia bertanya padaku mengenai hukum penarikan uang ini, apakah memang diatur atau tidak. Aku memang menyatakan saat itu kalau hal seperti ini pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah pusat. Bila dibebankan kepada daerah maka kemungkinan memang daerah tak memiliki anggaran yang cukup. Jadi salah satunya cara adalah dengan menarik uang kepada PNS yang lulus itu. Masalahnya adalah besarannya yang mencapai 3,5 juta rupiah. Ini tentu biaya yang besar bagi banyak pegawai negeri baru yang tak atau belum punya uang sebesar itu, khususnya orang seperti pak Sekdes ini. Kalau bukan karena ingin meraup untung atas pelaksanaan pra jabatan PNS ini lalu apa?
Bukan saja politik elit kabupaten yang kami obrolkan. Konflik elit desa antara kepala desa Bantimurung – Malaka dengan salah satu kepala dusunnya juga tak luput dari obrolan. Katanya, kepala dusun ini jengkel dengan kepala desa untuk soal yang lebih sebagai urusan keluarga ketimbang urusan pemerintahan (wah saya lupa apa pastinya masalahnya).
Begitu jengkelnya, kepala dusun yang masih kerabat kepala desa inipun menghimpun tanda tangan warganya dan menuntut agar kades itu mengundurkan diri dari jabatannya. Tak tanggung-tanggung, ada sekira 400 warga di dusun itu yang membubuhkan tanda tangannya. Padahal, kepala desa yang pernah kalah bersaing di pilkades di desa tetangga dirayu-rayu oleh kadus ini untuk maju dan siap memobilisir warganya untuk memilihnya.
Rupanya, himpunan tanda tangan itu sampai jua di tangan Bupati dan campur tanganlah bupati menjembatani konflik ini. Dengan kalimat-kalimat Bugis, bupati yang memang sering berbahasa Bugis kepada warganya ketimbang Makassar ini mengatakan,
“Magi nappa meloko munduru pas wettukku mancaji bupati, mana de na riolopa mumumnduru’, manengka mancaji bupati pa’?”
Singkat kata, mendengar kalimat Bupati ini, kepala dusun ini urung melanjutkan niatnya. Terakhir kali terdengar kabar, bahwa kapolsek yang mendamaikan keduanya dan kini masih dipertanyakan betulkah kedua orang yang berkeluarga ini benar-benar telah berdamai setelah perselisihan ini?
Baiklah, itu semua urusan politik. Aku mengalihkan pembicaraan.
Sejak dalam perjalanan ini, saya melihat lahan-lahan sawah padi terhampar dengan indahnya. Hijau. Saya lalu bertanya tentang pola menanam padi petani di kampong ini. Pak Sekdes yang menimpalinya. Ia bilang, mayoritas petani di sini menggunakan system ‘tabela’ atau tanam benih langsung.
Saya lalu bertanya apa keuntungan dengan cara tanam seperti ini. Dan keduanya menjelaskan hal yang sebenarnya sudah kuketahui dari diskusi semalam di Training Center-nya SRP Tompo Bulu. dengan system tabela, maka rumput liar akan dengan mudah tumbuh. Lalu, disenangi oleh tikus karena daun padi yang rimbun. Ini berbeda dengan system tanam satu-satu yang jelas terlihat rimbunan padi hanya pada setiap satu rumpun dan terpisah satu dengan lainnya yang membuat cahaya menerangi setiap jarak yang memisahkan rerumpunan padi.
Memang lebih mudah. Saya ingat kata-kata Papa Tande, “itu petaninya sudah malas.” Begitu malasnya, bahkan menggunakan racun rumput untuk membasmi anakan rumput yang memang rakus berebutan makan hara dengan padi. Jadinya, mau tidak mau, kualitas padi pastilah tercemari racun. Dampak negatif itu hanya bisa dikurangi bila petani pandai-pandai memilih racunnya yang berkadar racun amat rendah dan penggunaannya tidak massif. Entahlah dengan petani di kampung Tanete ini.
Sayapun bercerita tentang cara tanam yang pernah dan kini sedang diterapkan oleh petani-petani SRP (Sekaolah Rakyat Petani) Tompo Bulu. Satu cara yang menuai banyak kritik dari petani-petani lain bahkan oleh salah satu tetua desa, Ambo Tuo atau kerap disebut kepala desa tua. Bahkan saya juga cerita bahwa petani-petani dari dusun Bulu-Bulu ini bukan hanya sekedar tanam tapi mereka juga mengamatinya dan mempelajari perkembangan setiap minggunya, mulai dari jumlah anakan, tinggi batang, jumlah daun, hingga serangga-serangga yang mulai datang dan kemungkinan penyakit yang mungkin menggerogoti batang-batang padi.
Dasar kelas menengah, setelah baru dua jam bercerita aku sudah mulai bosan dan kehabisan bahan cerita akupun memilih pamit. Kebetulan hujan juga sudah reda dan baru saja melintas dua gadis ayu dengan motornya kea rah Bulu-Bulu. “Besok pagi saya ke kantor desa pak, saya mau diskusi mengenai rencana survey pertanian desa.
Aku meraih motorku dan tancap gas. Berharap dua gadis itu bisa kusapa. Aih aih!
***
Adzan Isya baru saja selesai dikumandangkan dari Mesjid Tompo Bulu. Dari ruang tamu di rumah Pak Goncing, saya dan Papa Tande (Najamuddin) berbincang lepas sambil menunggu waktu pertemuan siswa sekolah lapang di Traning Centre SRP Tompo Bulu tiba.

lanskap sawah di dusun Bulu-bulu
Macam-macam ragam topik yang kami bicarakan. Mulai dari urusan pertanian di mana sehari-harinya Papa Tande bekerja hingga urusan wartawan yang datang dan sedikit menyita waktunya.
Sekarang ini dia bersama beberapa petani lainnya yang bergabung di Sekolah Rakyat Petani Tompo Bulu sedang menerapkan pola tanam SRI atau yang lazim disebut tanam satu-satu. Selain itu, mereka juga mulai membuat aneka pupuk organik yang bahan bakunya tersedia di desa ini, desa Tompo Bulu, seperti lactobacillus, pupuk kandang dan kompos.
Untuk pupuk kandang sendiri, selain berasal dari kotoran sapi yang diolah secara langsung, petani-petani ini juga mengolahnya dalam skema biogas, baik yang terbuat dari tabung beberapa lapis plastik maupun biogas permanen yang peruntukannya bukan saja sebagai pengganti bahan bakar kayu dan minyak maupun penyedia energi listrik seperti di kampong Lamporo.
Papa Tande boleh dikata penyemangat bagi tim petani yang sedang belajar ini. Walau bukan berarti tanpa ia lantas tim ini akan tak belajar sama sekali. Ia selalu menyebut bahwa ini adalah kerja bersama dari petani-petani yang sudah sekira empat tahun terkahir ini bersama-sama. Dalam mengambil keputusan juga ia selalu bilang, “saya tergantung sama teman-teman.”
Ia dan teman-temannya sedang melakukan pekerjaan besar. Mengubah cara berpikir dan cara kerja petani yang awalnya sekedar bercocok tanam dan tergantung pada kekuatan pasar di luar desa yang menyediakan segala keperluan pertanian mulai dari bibit, pupuk, hingga alat berat menjadi petani yang ingin memahami hakekat bertani.
Tentang hakekat bertani, tentu hanya bahasa saya saja. Ia selalu punya cara sendiri untuk menjelaskannya padaku yang sedemikian buta soal urusan cocok tanam ini. Misalnya saat menjelaskan bagaimana cara kerja pola tanam padi satu-satu ini.
Menurutnya, kebiasaan petani menanam bibit padinya adalah dengan sekian banyak batang, bisa berkisar 5 hingga 8 batang pertanamnya. Nyaris seluruh petani di desa Tompo Bulu melakukan pola semacam ini, dan ada sebagian yang menanamnya dengan pola Tabela atau istilah setempat ma’gugu atau menebarkan saja benihnya ke tanah. Dengan tanam satu satu, hanya akan ada satu akar yang mencari makan di dalam tanah, dan selanjutnya akan mehirkan sekian anakan yang sumber makanannya hanya dari satu batang tadi yang lalu disebutnya sebagai induk tanaman.
Mendengar penjelasannya, spontan saya berujar, “Itulah Komunisme, Papa Tande!” Seharusnya induk itulah Negara, dan Negara itulah yang membagi makanan ke rakyatnya sesuai kebutuhan dan peruntukannya. Makanan di bagi merata dan adil.” Papa Tande tak menanggapinya. Bodoh sekali diri saya ini, menyadari mengucapkan kata-kata semacam itu.
Dengan cara seperti itu, induk yang menyerap makanan secara alamiah akan membagi merata kepada seluruh anakan yang jumlahnya bisa mencapai 50 anakan atau batang. Dengan pola tanam biasa, di mana petani mengambil kisaran 8 anakan tak akan bisa semaksimal mungkin menciptakan anakan baru. Paling banter setiap anakan hanya bisa meemiliki satu anakan sehingga jumlahnya bisa menjadi dua kali lipat katakanlah 16 hingga 20 anakan atau lebih sedikit.
Payahnya, karena dengan model tanam semacam ini, jumlah induk pencari makan menjadi banyak pula sesuai jumlah tanam pada awalnya. Bila jumlah anakan adalah 8 dari setiap genggaman yang menancap di tanah, maka aka nada delapan mulut pencari makan dalam ruang makanan yang sedemikian terbatasnya. Itupun akan kesulitan makanan terserap secara merata. Anakan yang kebetulan berada di pinggir akan lebih leluasa menyerap makanan ketimbang anakan yang berada di tengah.
Akibatnya, kualitas bulir padi akan berbeda karena secara alamiah pula, kesehatan padi yang bersumber dari makanan tidak akan terbagi secara merata. Singaktnya, dengan cara tanam satu satu, jumlah anakan bisa maksimal terus berkembang dan kualitas padi yang dihasilkan oleh anakan adalah sama baiknya dengan induk yang akarnya mencerap makanan.
Dampak lain yang ditimbulkan selain cara berkembang anakan ini adalah pada cara perawatannya. Papa Tande dan kawan-kawan petaninya tak menggunakan pupuk sebanyak pola tanam biasa. Perlakuan tanaman padi tidak harus melalui input kimiawi secara terus menerus. Pupuk kandang lebih diutamakan dan lactobacillus yang kaya nutrisi yang juga dibuatnya sendiri sangat baik dalam merangsang pertumbuhan tanaman padi. Itulah mengapa ia bisa berhemat besar dalam urusan input luar tanaman ini yang berbeda dengan petani lain yang boros menggunakan pupuk urea dan pestisida kimia.
Di awal ia memulai tanam satu-satu ini, tidak satu dua orang mencibirnya. Bahkan, hampir seluruh petani yang memperhatikan caranya menanam menyebutnya sinting. Bagaimana mungkin satu anakan bisa berkembang menjadi banyak anakan. Demikian salah satu ejekan yang ia terima.
Ia tahu, ia sedang melakukan satu pembuktian yang tidak banyak petani berani melakukannya.
Tapi ia tak berhenti disitu. Ia tak ingin dirinya sekedar menjadi pemberi bukti, tapi ia bersama petani-petani yang turut melakukannya ingin mengetahui sifat-sifat aneka input dan pertumbuhan batang padi. Misalnya, ia ingin tahu bagaimana perkembangan batang padi dari waktu ke waktu.
Ia memantaunya setiap minggu perkembangan tanaman padi mereka. Mulai dari jumlah anakan. Tinggi batang, dan jumlah daun. Selain itu, ia juga mengamati tanaman lain yang tumbuh liar semisal rumput diantara tanaman padinya, jenis penyakit yang mulai tampak, binatang-binatang yang berpotensi menjadi hama, dan cuaca yang terjadi saat penilaian berlangsung. Misalnya saja apakah saat pencatatan berlangsung hujan sedang turun atau matahari sedang menyengat.
Pada percobaannya musim tanam lalu, diam-diam dia senang dengan keberhasilannya. Kini, bersama Supri, Tamrin, Tajuddin, Misbah dan beberapa lagi lainnya membuka ‘kelas baru’ untuk mempelajarinya kembali. Setiap peserta mempraktekkan pola tanam ini dan di setiap lahan di tentukan sepuluh patok yang kemudian menjadi sampel pelajaran mereka. Malam ini adalah pertemuan keempat sejak mereka menanam bulan lalu untuk mengevaluasi dan saling berbagi pengalaman dari setiap orang.
Itu baru satu hal yang ia ceritakan. Ia masih memiliki banyak cerita yang tak tuntas pada malam itu. Beberapa cerita dilanjutkan di sawah esok harinya saat saya menemaninya mencangkul dan membersihkan sepetak lahan untuk tanaman kacang usai panen padi Akhir April nanti. Seperti mandeknya pengelolaan biogas listrik di kampong Lamporo karena asupan tahi sapi dari para penggunanya yang tidak maksimal (lihat catatan lain tentang Biogas Listrik Lamporo).
Cerita lain adalah tentang wartawan-wartawan yang datang ingin meliput kegiatannya akibat adanya tulisan yang membeberkan apa yang tengah dilakukannya di tengah kesibukannya membangun kepercayaan di lingkungannya sendiri. Ia bukan anti wartawan, tapi dengan segala kekurangan yang masih terdapat di sana sini, ia tak mau apa yang belum sepenuhnya ia lakukan lantas sudah beredar kemana-mana dan membuatnya kehilangan waktu untuk sekedar melayani wawancara tentang pekerjaannya yang menurutnya masih jauh dari harapan.
Ia tak mau pekerjaannya sekedar dilihat pada hasilnya saja, keberhasilannya saja, tapi ia ingin membuat petani-petani lain untuk memahami betul apa yang sebenarnya sedang mereka lakukan sekaitan dengan tanah dan bagaimana mereka sebaiknya memperlakukan tanah, tanaman, dan hewan di sekitar mereka.
Contohnya, ia tak mau, setelah ia dan teman-temannya sukses membuat lactobacillus lantas tetangga-tetangganya datang meminta dan bila perlu membelinya. Ia ingin, tetangga-tetangganya juga tahu apa komposisi lactobacillus itu, apa khasiat dari setiap komposisi itu, bagaimana meraciknya, bagaimana menggunakannya, pada tanaman apa yang paling cocok dengannya, dan kapan ia dapat atau kapan tidak dapat dipercampurkan dengan pupuk jenis lain semisal urea.
Menurutnya, tanaman palawija tentu berbeda dengan tanaman padi. Dengan kebiasaan yang sudah berlangsung lama di mana petani sedemikian tergantungnya dengan pupuk dan pestisida kimia, bila menggunakan lactobacillus dan kemudian menambahkannya dengan urea maka tanaman palawija semisal buncis atau tomat akan rusak batangnya. Bila percampuran itu untuk padi SRI pada lahan yang selama ini dipenuhi pupuk kimiawi maka pencampuran dengan urea masih dimungkinkan dengan takaran yang sangat sedikit, yakni sekedar pemancing saja. Selebihnya, tinggalkan saja segala input kimiawi itu.
***
Malam itu, di Training Centre SRP Tompo Bulu, satu persatu peserta sekolah lapang SRI datang. Sebulan sebelumnya, petani-petani ini bersama-sama menanam benih yang telah berumur 15 sampai 20 hari dengan varietas padi seperti Ciherang, Pandan Wangi, Cigeulis, Barito, dan ketan hitam. Menurut Papa Tande, benih Ciherang pada usia 12 sampai 15 hari sudah harus dipindahkan ke lahan. Sedangkan benih Barito pemindahannya nanti pada usia 15 – 20 hari.
Supri yang menjadi ketua kelas ini sudah mempersiapkan absen dan kopi panas. Pisang Nangka yang baru saja digorengnya juga sudah terhidang di meja lesehan panjang dan tak lama kemudian ia sudah membuka pertemuan ini dengan salam.
Karena kehadiran saya dan posisi baru yang menggantikan seorang kawan sebagai Manager Program di proyek Pangan dan Energi ini, ia lalu memperkenalkan saya kepada seluruh peserta yang malam itu berjumlah tujuh orang.
Sebenarnya ada sepuluh, tapi tiga orang tidak hadir. Sayapun memperkenalkan diri. Tentu saja ini bukan kunjungan pertama saya. Bila tak salah, ini sudah kunjungan kelima atau enam di desa Tompo Bulu ini. Persentuhan saya dengan petani-petani ini sebelumnya hanya sebatas kunjungan biasa melepas kepenatan dan kesibukan di Kota Makassar. Kini saya hadir sebagai orang yang mau tidak mau akan belajar urusan pertanian dan pengorganisasian petani.
Untuk hal yang kedua itu tentu terlalu tinggi bagi saya, karena sebenarnya petani-petani ini telah dan sedang mengorganisir dirinya sendiri, sehingga kehadiran saya mungkin sekedar pelengkap saja.
Setelah membuka kelas, evaluasi dari setiap siswa ini dimulai.
Samsu memulainya terlebih dulu. Ia mulai memaparkan perkembangan tanaman padi SRI nya dan Papa Tande siap menuliskannya di dinding kamar yang terbuat dari tripleks halus berwarna putih yang juga menjadi bahan whiteboard.
Ada enam lokasi yang dipaparkan malam itu, Papa Tande dan Manci mempraktekkannya di satu lahan. Mereka mengolahnya bersama. Keenam lahan itu adalah Bola Toa, Tassongra, lahannya Samsul, Tobiro, Batu-Batu, dan Tompoleang Ciheran.
di Tompo Leang misalnya, tinggi batang di setiap patoknya itu di minggu keempat ini sudah berkisar 50 – 83 sentimeter. Sementara jumlah anakannya sudah mencapai 30an di setiap patoknya. Lalu jumlah daunya berkisar belasan. Kondisi airnya masih lima sentimeter dan cuaca saat penilaian berlangsung adalah panas-berawan. Sementara itu di lahan Batu-Batu, tinggi batang di setiap patoknya adalah 70an sentimeter dengan jumlah anakan belasan, dan jumlah daun rerata 3 helai. Sementara kondisi airnya tinggal 2 – 3 sentimeter dan beberapa batang tampak bekas gigitan tikus.
Demikian seterusnya, setiap siswa menyampaikan perkembangan tanamannya dan memberi rekomendasi penanganannya setelah didiskukan perkembangannya satu demi satu.
Setelah kuamati, rupanya, salah satu peserta, Tajuddin, tidak menyampaikan laporannya. Saya bertanya, kenapa pak Tajuddin tidak menyampaikan hasil pengamatannya? Rupanya, ia masih belum berani menanam dengan pola SRI tapi ia juga ingin mengikuti perkembangan dan belajar bersama kawan-kawan petaninya.
Malam ini benar-benar sesuatu yang menarik bagi saya.
Petani-petani belajar dari pengalaman mereka sendiri tanpa penyuluh pemerintah. Mereka mencobanya dan lalu melihat setiap tahapnya dengan diskusi. Sesuatu yang tentu belum banyak berlaku di banyak komunitas petani di negeri ini.
Ah Petani-petani ini. Mereka berbagi pengalaman dan pengetahun sesamanya. Seperti padi, saling mengisi, dan setelah berisi lalu saling merunduk.
***
sumber : https://ishaksalim.wordpress.com/2011/10/08/orang-kota-di-tengah-cerita-orang-orang-desa/